Archive

Posts Tagged ‘Deandels’

SEGENGGAM KATA DARI BISMA SMASH – a story

Infotainment sedang heboh-hebohnya akhir-akhir ini. Setiap aku tekan chanel TV naik turun kanan kiri, yang kutemui wajahku sendiri yang sedang mengkorfimasi desas-desus kalau aku sedang dekat dengan seorang perempuan. Kulihat wajahku yang tersenyum menutupi kebohonganku sendiri sambil mengatakan “nggak, dia temen aja!”. Ya, semua stasiun TV mengulang adegan itu membuat aku muak melihat mukaku sendiri.

Bukan hanya TV, tabloid pun ikut-ikutan rame memasang fotoku besar-besar dengan headline yang sengaja ditulis sebesar gajah: BISMA SMASH PUNYA PACAR? Aku jengah melihat semua lapak-lapak tukang Koran.

Sebenarnya ini tidak akan menyiksaku jika aku itu memang bohong, tapi kenyataannya yang bohong adalah diriku bukan kenyataan ini. Pacar? Perempuan ini tak jelas statusnya, dia tak pernah menyatakan apapun padaku, tapi dia selalu menemaniku yang membuatku berkesimpulan begitu. Perempuan unik yang kutemui di pom bensin. Saat ia tersenyum dengan manis dan menyapaku sebelum dia mengisi bensin ke mobilku. Di antara semua perempuan, hanya dialah yang kutemukan di tempat yang tidak biasa. Diza, begitu ia memperkenalkan dirinya padaku.

Begitu aku memarkirkan mobilku di kampus yang akhir-akhir ini jarang aku datangi aku langsung menelepon dia karena SMS-ku tak dia balas juga.

“Halo!” sapanya. Sepertinya dia baru bangun tidur.

“Bangun woy!” teriakku, entah kenapa aku langsung riang kalau mendengar suaranya.

“Apa? Mau nyuruh aku nonton infotainment?” tanyanya. Aku langsung terdiam. Aku merasa bersalah padanya dan aku merasa tidak berdaya untuk melindunginya, bahkan untuk mengatakan kejujuran.

“Aku kuliah ya,”

“Ya kuliah aja! Meni sagala laporan!” jawabnya. Kubayangkan dia berbicara dengan mata tertutup karena saking ngantuknya.

Diza yang aneh. Aku sangat khawatir pada pemberitaan ini, tapi aku yakin dia tidak pernah mau menyikapi semua pemberitaan dengan serius. Yang ada dia akan menyalakan TV dan setelah ia menemukan semua chanel membicarakanku, dengan ringannya dia akan mematikan TV lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi dan membaca koran. Dia akan langsung membuang halaman koran yang menampangkan wajah SMASH dalam artikel.

Diza yang aneh. Dia  bilang dia bersedia menyukaiku, tapi tidak dengan SMASH. Dia bahkan tak peduli setiap kali ada acara musik yang menjadikan kami bintang tamunya. Dia tidak hapal lagu SMASH, dia bahkan sering lupa nama-nama personil SMASH. Soal nama, aku memang memintanya setidaknya dia hapal nama teman-temanku.

“Bukan nama anggota SMASH, aku ingin kamu kenal nama teman-temanku!” pintaku. Barulah dia luluh dan mencoba menghapalkan satu per satu nama teman-temanku. Ya, nama teman-temanku, bukan nama anggota SMASH.

SMASH, kata yang dielu-elukan banyak ABG ini tak ada artinya untuk Diza. Dia tidak tahu dan tidak ingin tahu apa arti nama itu. Dia tidak tahu kapan kami terbentuk, dia tidak peduli apa pun dengan kata ini.

“Kalau kamu suka aku kamu harus suka SMASH!” suatu hari aku pernah menegaskan begitu.

“Kalau kamu suka aku jangan pinta aku suka sama SMASH!” dia lebih tegas memperingatkanku.  Aku kalah, dia yang ada di posisi tawar karena aku yang menyukainyai lebih dulu. Namun, walaupun demikian Diza bukanlah orang suka mencela.

“Aku hanya tidak suka SMASH, selebihnya tidak ada kesan apapun,” tegasnya kemarin.

Setelah manggung malam ini kupaksakan untuk bertemu dia setelah dia bekerja mengisi bensin dari mobil ke mobil. Sebenarnya tubuhku sudah sangat lelah, tapi aku sangat …sangat ingin melihat wajahnya.

Aku bertemu dia di tempat yang sebenarnya tidak begitu sepi, tapi karena sudah malam orang-orang tidak akan terlalu ngeh dengan penyamaranku yang selalu memakai kupluk dan kacamata kalau bertemu dengannya.

Kulihat dia sedang memandangi langit yang kelam saat aku datang. Sedang apapun dia, aku melihatnya sebagai sebuah pesona.

“Aku nyesel nggak jadi loper Koran,” sahutnya tiba-tiba begitu aku duduk di sampingnya. “pasti bakalan laku kayak kacang goreng,” lanjutnya.

“Kamu udah nonton infotainment?”

“Ketonton, nggak niat nonton,”

“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku dengan nada khawatir. “Maaf aku belum bisa jujur,” ungkpku dengan penyesalan yang dalam, tapi dia malah tertawa kecil mendengarnya.

“Kalau kamu ngomong jujur juga harga premium nggak akan turun, apalagi harga beras,”

“Aku serius!” tandasku.

“Kalimatku juga lebih serius. Diumumkan atau tidak, tidak akan ada untungnya untuk petani di Indonesia, untuk para tukang becak, untuk kepala sekolah yang sekolahannya mau rubuh, untuk serikat buruh yang sering demo,”

“Mulai! Kalau bicara kamu lebih mentingin tukang becak, sopir angkot, buruh,”

“Itu artinya pernyataan kamu nggak penting, nggak merubah kehidupan di Indonesia, paling Cuma warnet ama Simpati dan teman-teman yang untung, karena SMASHBLAST-mu itu bakal rajin nge-twit ato ganti status FB,”

Begitulah Diza. Dibandingkan peduli denganku, dia lebih peduli pada kehidupan di negara ini. Jika kami bertemu, aku selalu sulit menyesuaikan ritme bicaranya kalau dia sudah bicara tentang Indonesia.

Aku  mati kutu. Sebenarnya aku ingin lebih mendengar dia menceritakan perasaannya tentang berita yang sekarang sedang marak. Kalau sudah menyangkut SMASH, Diza adalah orang yang tak berperasaan, bukan artinya kejam, tapi tidak merasakan apa-apa saja tentang SMASH.

“Lagi baca buku apa?” tanyaku saat aku melihat di atas tasnya tergeletak sebuah buku bertuliskan Jalan Raya Pos, Jalan Deandels. “Ini tentang jalan Anyer-Panarukan?” tanyaku basa-basi. Dia mengangguk.

“Aku pinjem ya,”

“Kalau nggak akan dibaca, mending nggak usah!” tegasnya.

“Aku baca. Aku kan harus mengimbangi pembicaraan kamu yang suka jauh melenceng dari yang aku inginkan,” jelasku.

“Emang kamu ingin membicarakan apa?”

“Kita,” jawabku singkat yang dibalasnya dengan garukan di kepala diiringi wajah tak ada minat.

Bahkan berjalan bersama menuju tempat aku memarkirkan mobilku pun adalah saat-saat yang penuh keistimewaan karena saking sulitnya kami bisa begini. Aku selalu memandangi wajahnya dengan khidmat. Wajahnya benar-benar wajah Indonesia, tidak seputih artis-artis yang kutemui saat akan show, tidak ada bulu mata palsu, maskara, eye shadow yang melekat di mukanya, aku yakin sebelum bertemu denganku pun dia hanya cuci muka dan tidak bedakan, tapi wajah polos ini selalu membuatku cenat-cenut seperti lagu SMASH.

Namun, aku tak bisa berharap dia melakukan hal yang sama. Dia jarang sekali melihat wajahku atau memandangiku dalam-dalam. Ia hanya akan berjalan lurus atau menunduk dan sesekali menengadah.

“Tunggu!” katanya tiba-tiba dan kemudian akhirnya dia memandangi wajahku dan menatapku dengan serius.

“Kenapa?” tanyaku dengan senyuman.

“Kenapa kamu masih pake premium?” tanyanya tak kusangka. Senyumku hilang seketika.

“Sebelum jadi artis juga aku pakenya premium,” ungkapku. “Kan sekarang premium juga udah nggak disubsidi ama pemerintah,” sambungku, tapi Diza tidak bergeming ia malah memandangiku lekat-lekat  dan matanya terasa begitu menerorku.

“Iya… iya… demi Indonesia, besok aku mulai pake pertamax,” tandasku. Diza pun langsung tersenyum puas. Aduhai… manis sekali senyumnya, menggodaku untuk tersenyum juga padanya.

“Oh iya, besok kamu tugas di SPBU jam berapa? Pagi, kan?” tanyaku.

“Emang kenapa?”

“Bensin ku udah mau abis, tapi aku  nggak mau ngisi sekarang. Aku cuma mau ngisi bensin ke petugas SPBU yang namanya Diza,” tegasku.

“Kenapa emang?” tanyanya lagi.

“Karena cuma waktu kamu jadi petugas SPBU aku bisa ngeliat senyum kamu yang lebar dan ramah,”

Diza pun tersenyum geli mendengar itu. Namun, itulah yang memang aku tunggu setiap kali aku ke SPBU.

Aku pulang sendiri dengan mobilku, Diza tak pernah mau diantar. Aku tak tahu alasan jelasnya.

“Aku relakan fantasi diantar ke rumah oleh Bisma SMASH buat penggemar kamu,” itu yang selalu dikatakannya untuk menolak ajakanku.

Tak sampai sejam aku bersamanya, tapi cukup mengobati rasa lelahku seminggu ini. Namun, begitu menyusuri malam seorang diri begini, aku merasa perasaan yang begitu melankolis menyergapku. Aku terkadang membayangkan dia duduk di sampingku saat aku sedang menyetir begini. Andaikan bisa, aku rela jika pembicaraan itu pun harus tentang pendidikan di Indonesia.

***

Pagi ini aku merasa lebih bersemangat untuk manggung. Aku tahu tidak pernah akan ada Diza di kerumunan anak-anak SMASHBLAST, tapi  tak apalah. Kemarin sudah cukup membuatku merasa lebih baik, bahkan aku lupa bahwa yang ingin aku bicarakan dengannya kemarin adalah tentang kabar di Infotainment.

Pagi. (titik)

Saat sarapan dengan anggota SMASH, tiba-tiba SMS dari Diza nampak di layar ponselku. Aku tersenyum melihat caranya mengirimiku SMS pendek ini. Dia sampai harus menuliskan kata titik agar aku mengerti bahwa SMS itu bukan SMS yang menyapa orang dipagi hari. Dia seolah-olah sedang bicara tegas denganku: Lihat baik-baik itu tanda titik, bukan tanda seru. Ini artinya SMS ini adalah jawaban pertanyaanku tadi malam. Diza kerja pagi di SPBU hari ini. Ah… akhirnya mobilku masih bisa bertemu si manisku itu.

“Kenapa kamu sengar-sengir setiap pagi” Ilham mengubah syair lagu I heart you setelah melihat aku senyam-senyum karena mengamati SMS dari Diza.

“Selalu begitu kalau baca SMS,” timpal Diki melanjutkan. Dan tawa pun berderai.

“Oh ini pasti karna Diza!” tiba-tiba Morgan melanjutkan, tapi setelah itu semuanya diam dengan wajah serius memikirkan kalimat selanjutnya yang pas dengan musik lagu itu.

Nggeus tong dipaksakeun mun euweuh ide mah!” tandasku, mereka pun menyerah.

Kami meluncur menuju tempat kami akan manggung. Aku ada di mobilku bersama Morgan dan Rangga, yang lainnya dengan mobil lain beserta barang-barang kami. Morgan yang menyetir di depan. Aku dan Rangga duduk dibelakang. Saat mobil meluncur, Rangga dan Morgan terlibat dalam pembicaraan tentang kostum, sedang aku mulai membaca buku karya Pramoedya Ananta Toer tentang jalan Deandels yang dulu saat SD namanya sering kudengar.

Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.”

Itu kalimat pertama yang aku baca saat membuka buku kecil ini. Hatiku terasa bergetar, dan entah mengapa aku seperti ada di suasana yang begitu serius, padahal masih terdengar olehku Rangga yang berisik tentang kaos yang ingin ia pakai untuk manggung kali ini.

Aku lanjutkan membaca.

Buku ini adalah buku yang menjadi saksi atas peristiwa pembantaian manusia-manusia di balik pembangunan Jalan Raya Pos atau yang lebih dikenal dengan jalan Deandels. Jalan yang membentang 1.000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan, itu dibangun—tepatnya dilebarkan— di bawah perintah Maarschalk en Gouverneur Generaal, Mr. Herman Willem Deandels. Rampung dan dipergunakan pada tahun 1809.

Dari satu paragraf saja yang aku baca, aku akhirnya menyadari mengapa Diza memiliki pemikiran yang lain dan sangat jauh berbeda — dan sekarang aku rasakan lebih maju— dibanding dengan diriku. Aku jadi lebih serius membaca dan suara Rangga pun tiba-tiba terasa lenyap. Aku seperti memasuki zaman kolonial saat Belanda masih ada di Indonesia.

“Woy!” teriak rangga yang seperti mematikan TV yang sedang aku tonton.  “Lagi baca buku apa sih serius pisan,” ungkap Rangga. Dia membalik buku yang aku baca dan berusaha melihat cover-nya.

Wah maneh mah rek bobogohan ge jiga nu rek dites sejarah!”  seru Rangga mengejek.

“Emang baca buku apaan?” tanya Morgan.

“Jalan Deandels!” jawab Rangga.

Edan bacaana mah euy!”

“Eh… sejarah ini ieu teh. Sok sabaraha panjangna jalan Deandels?” tanyaku sok pintar.

Sarebu kilometer,” jawab Rangga enteng.

Naha nyaho?”

“Bener? Padahal ngasal,” ungkap Rangga girang. “Tuh tingali, teu maca oge urangmah nyaho,” lanjutnya sok.

“Saha nu nyieuna?”

Nya Deandels atuh!”

Nya lain atuh, orang Indonesia nu migawna mah,” jawabku. “Tahun sabaraha anggeusna?”

Teuing, Pokona mah saacan aya SMASH wae!” jawab Rangga asal.

dalapanbelas enol salapan,” jawabku.

“Edanlah! Soklah aku dukung. Entar kalo kita diwawanca radio, aku bilang si Bisma lagi serius bacaan yang berat-berat,” timpal si Ogan.

“He eh… entar rame geura di Internet. Wah kak Bisma rajin baca,” tambah Rangga sambil memperagakan suara perempuan.

“Bis, bensinnya kosong ya?” tanya  Morgan sembari akan membelokan mobil ke SPBU.

“Jangan! Jangan! Di sini Gan! Yang di depan…. di depan!” pekikku dengan jantung yang serasa tinggal plok. Untungnya aku  masih sempat membuat Morgan tidak jadi masuk ke SPBU ini.

“Wah… gimana nih, aku takut nggak akan nyampe,” ungkap Morgan panik dengan isi bensin yang tinggal sekedip lagi.

“Nggak akan!” Jawabku singkat dan berusaha tidak panik walau aku sangat panik. “Ya Allah kersakeun atuh tiasa dugi ka ditu,” harapku sambil membuka tangan seperti sedang berdoa.

Rangga dan Morgan benar-benar teman setia kawan. Mereka lebih memilih berada dalam kondisi tidak menentu dari pada membuat aku tidak dapat menyaksikan senyum si manisku Diza. Alhamdulillah, doaku diijabah. Sampai juga mobilku di SPBU tempat Diza akan menghadirkan senyumnya.

“Jangaan!” pekikku lagi saat Morgan akan masuk ke tempat premium.

Rariweuh wae!” komentar Rangga.

“Pertamax! Pertamax!” ujarku dan Morgan pun mengalihkan  mobil ke tempat Pertamax. Kericuhan pun terjadi lagi saat aku menyadari posisi dudukku ini bisa membuat aku tak akan mampu melihat senyum Diza. Hampir saja aku membuka pintu dan pindah ke tempat Morgan, tetapi otakku langsung memberi tahu kalau aku …. SMASH, tidak bisa aku keluar seenaknya sedang di sana banyak anak-anak SMA yang sedang mengisi bensin ke motor mereka.

Aku langsung berusaha bergantian tempat dengan Rangga. Paha Rangga kududuki agar aku bisa melewati Rangga.

Riweuh! Riweuh!” lagi-lagi Rangga mengomentari. “Ah…. nyeri atuh euy!” protesnya saat aku menduduki pangkuannya dan menginjak kakiknya. Aku buru-buru membuka Jendela sebelum Diza yang sudah stand by dekat mobilku memberikan senyumnya pada Morgan.

“Sini! Sini!” bisikku pada Diza agar ia tersenyum padaku. Morgan dan Rangga hanya bisa menggeleng-geleng melihat tingkahku. Morgan yang sudah membuka bagian atas jendela langsung menutupnya kembali  jendelanya dan  memberikan aku kesempatan mendapatkan senyuman si petugas SPBU bernama Diza.

“Selamat pagi? Berapa liter?” tanya Diza dengan senyuman yang sangat manis, indah, ramah, pokoknya tidak terperikan.

“Full!” jawabku singkat sambil terus memandangi gerak-geriknya dan menganggumi wajahnya.

“Dari nol, ya,” ujarnya.

“Jangan handap-handap teuing!” kata Rangga sambil berusaha membuat kaca jendela naik, sehingga wajahku mungkin hanya kelihatan mata dan hidungnya saja.

Aku memamerkan buku Deandels miliknya dan memamerkan juga tanda jempol sebagai tanda kalau buku itu bagus. Diza tersenyum, aku melayang.

“Hah, kok full tank itu cepet banget ya,” keluhku pada Diza yang berdiri dekat sekali dengan mobilku. Dia sekali lagi tersenyum dan aku sekali lagi melayang.

***

                Riuh rendah para SMASHBLAST bersorak saat kami sedang beraksi di panggung. Poster-poster I Love You Morgan dan Rafael sepertinya yang paling banyak. Nama kami pun diabsen satu persatu dengan teriakan lalu kemudian diiringi oleh mereka yang menyanyi. Saat part bagianku, aku bernyayi ke depan, aku berkhayal sosok perempuan yang berseragam pertamina itu bediri di sana, tapi dikhayalanku sendiri sosok itu kemudian menutupi telinganya dengan headseat dan wajahnya ia tutupi dengan buku. Dia tidak mau mendengar dan melihat SMASH.

Selesai beraksi di atas panggung, sang host  lalu mengajak kami mengobrol. Di benakku aku merasa yakin kalau mereka akan menanyaiku soal isu aku sudah punya pacar. Dan benar sekali feeling-ku itu.

“Emang penting ya? Aku ngomong juga nggak akan bikin harga pupuk turun,” jawabku spontan sekali.  Host-host itu tertawa juga para SMASHBLAST. Bagi mereka ini lucu, tapi aku serius. Aku pun merasakan dejavu malam kemarin. Aku bisa merasakan keseriusan Diza kalau sedang membicarakan kesejahteraan rakyat kecil.

***

                Hampir 3 bulan berlalu, keadaan masih sama. Aku hanya bertemu Diza kalau sedang di Bandung dan pertemuan itu tak lebih dari satu jam. Desas-desus tentang aku pacaran masih ada, tapi kali ini setiap kali aku ditanya, aku akan mengaitkannya dengan kesejahteraan masyarakat  yang tidak ada hubungannya dengan pernyataan yang akan aku keluarkan. Aku pun masih sering meminjam buku dari Diza. Hampir sepuluh buku menumpuk di kamarku di Bandung, dan kebiasaan ini menjadi menular, walau tidak rajin dan kadang-kadang hanya beberapa halaman saja, tapi anggota SMASH yang lainnya pun berusaha membaca. Yang membuatku lebih melambung adalah saat aku lihat di internet penggemar-penggemarku yang tahu buku apa yang sedang aku baca dan mereka mengikuti membaca. Aku merasa memberikan pengaruh positif pada anak-anak SMASHBLAST. Bolehlah aku sedikit berbangga.

Aku kembali harus menyamar, dan penyamaran ini  harus hati-hati, karena Diza mengajakku naik TMB (TRANS METRO BANDUNG) di siang bolong. Aku terus duduk dengan kepala tertunduk dan tangan bermain BB. Diza menyuruhku duduk di pojok hingga ia bisa menutupi aku dengan tubuhnya jika ada orang yang mulai curiga kalau aku adalah anggota SMASH. Diza bukan pengguna BB, jadi kami tidak bisa BBM-an. Aku dan dia hanya berkomunikasi dengan SMS, walau kami bersisian.

Setelah orang-orang turun, TMB pun mulai dapat membuatku bernapas lega, dan sepatah- dua patah kata bisa kukatakan melalui bibirku langsung ke telinganya. Diza menyikut tanganku saat kami mendengar SMASHBLAST SMP sedang berdebat soal SMASH yang akan dipasangkan dengan Seven Icon. Ada yang setuju ada yang menca-menca tidak ridho kalau kami berpasangan dengan mereka. Aku terkikik mendengarnya. Suara mereka tambah heboh dengan suara mereka yang sedang makan cilok, wafer, dan segala makanan yang ada di tangan mereka. Kemudian setelahnya sampah bekas mereka makan berserakan di bawah jok sebelum mereka keluar dari TMB.

“Tuh liat kelakuan SMASHBLAST… kayak masih meninggali zaman purba yang hidupnya masih nomaden. SMASHBLAST nggak tau yah bedanya bentuk bis ama tong sampah?” sindir Diza. Aku hanya tersenyum pahit sekaligus miris mendengarnya.

Selama tiga bulan dengannya aku memang merasakan ada perubahan dengan diriku. Aku jadi lebih memikirkan hal-hal yang sifatnya sosial dan kemajuan negara ini. Aku pun  jadi merasakan ketenaranku ini tidak memiliki arti yang besar dan signifikan untuk kemajuan negara ini. Malah aku merasakan para SMASHBLAST malah jadi sering bolos untuk menonton SMASH, bukankah ini malah menjadi masalah? Dulu aku tidak peduli. Selama di bawah panggung penuh dengan SMASHBLAST aku senang, tapi sekarang tidak lagi.

Aku terus merenungi semua perubahan ini sambil terus menatap wajahnya yang memberikan inspirasi. Ya, wajah Diza mengalihkan duniaku walau dia tidak memakai produk yang dipopulerkan Afgan sekali pun.

“Lagi di mana?” tanya Rafael di telepon.

“Di mana ya… aku juga nggak tau… pokoknya mau ke daerah Jatinangor,” ungkapku dengan wajah berkeliling mencoba menebak keberadaanku sendiri. Tiba-tiba saja kutemukan seorang anak SMA yang berdiri si sampingku.

“Kak Bisma, ya?” tanyanya.

“Bu… bukan” aku gugup.

“AH ! IYA AH KAK BISMA!” teriaknya yang mengundang anak SMA lain mendekat padaku. Penyamaranku terungkap. Aku pun terperangkan dalam kepungan SMASHBLAST yang ingin berfoto dan meminta tanda tanganku. Aku tidak berdaya dan hanya bisa melayani mereka seperti petugas pelayan masyarakat. Sibuk! Sibuk! Sibuk!

Sementara itu kupandangi Diza yang duduk di bangku halte tanpa punya minat untuk melihatku sedikit pun. Sekilas ia memandang ke arahku lalu ke arah jam. Itu artinya dia sudah tidak mau menunggu lagi. Tapi aku mau bagaimana lagi. Di zaman internet di HP begini, cepat sekali menyebarkan keberadaanku pada orang lain hingga jumlah SMASHBLAST yang berjubel tambah tidak terkendali.

Diza pun akhirnya berdiri dan berjalan menjauh dari diriku, dia sepertinya sudah tak mau lagi menungguku. Aku panik, bingung, hilang akal. Aku tak bisa melihatnya pergi begitu saja, tapi jika aku memberhentikannya ini akan jadi masalah. Bahkan sudah ada kru TV yang datang. Tidak…. tidak…. Diza semakin menjauh dan seperti biasanya tidak berperasaan. Dia tidak menengok ke belakang sekali pun.

Aku tak tahan! Akhirnya kususul dia sebelum menyebarang. Aku tahu semua SMASHBLAST menyorotiku dan kemudian mengerjarku yang mengejar Diza.

“DIZAAAAAAAAAAAAA!” teriakku kencang agar dia tidak jadi menyebrang. Diza menoleh padaku yang sedang dikejar penggemarku yang menggila. Aku langsung meraih tangannya.

“Kamu mau ke mana pergi sendiri? Aku pulang gimana? Aku nggak tau ini di mana?” tanyaku bertubi-tubi dengan  napas terengah-engah. Namun, Diza tidak bergeming, ia malah menatap orang-orang disekelilingku yang memelototinya.

“Siapa sih?” tanya anak SMASH BLAST.

“Oh ini yah yang digosipin itu?” tanya yang lain.

“Nggak kan, Kak? Kakak nggak pacaran ama dia?” tanya yang lain. Aku masih diam.

Seseorang berusaha melepaskan tanganku yang memegang pergelangan tangan Diza sambil menangis dan memohon-mohon aku melepaskannya. Seseorang yang lain mencerca Diza sambil mendorong tubuhnya. Aku Mencoba menahannya, tetapi yang lain mengeroyok Diza sambil mengatai-ngatainya. Aku tidak berdaya. Diza terus terpojok, tubuhnya jadi bulan-bulanan orang-orang yang menyukaiku. Bahkan aku yang berteriak-teriak melarang mereka berbuat kekerasan, tapi entah kenapa mereka tak mampu mencerna kalimatku.   Polisi lalu lintas sampai harus turun tangan mengurusi kerusuhan yang kubuat.

“Kamu sekolah di mana?” sentak Diza tiba-tiba pada anak perempuan yang terus mendorongnya . “Siapa guru agama  kamu? Siapa guru PKN kamu?” teriak Diza marah.  “Apa kalian nggak pernah diajarin hormat ke yang lebih tua? Aku lima tahun lebih tua dari kalian, dua tahun lebih tua dari Bisma. Bisma aja hormat sama aku! Kenapa kalian nggak bisa?” sentak Diza murka. Ini pertama kalinya kulihat Diza mengeluarkan emosi yang meledak-ledak. Anak-anak mahasiswa yang menonton live drama bersorak membela Diza.

“Sana, ambil Kak Bisma kalian. Bekuin sekalian supaya bisa kalian miliki! Jadiin dia kayak robot!” bentak Diza belum juga usai, tapi ini berhasil membuat para SMASHBLAST diam sampai yang menangis pun seolah lupa kalau dia sedang menangis.

“Kalau kamu ingin pulang bisa naik angkot itu, atau naik TMB lagi, nanti naik angkot yang ke rumah kamu. Tapi kayaknya kamu mending naik taksi aja atau minta temen kamu jemput kamu!” suruh Diza  sambil berusaha menyebrang jalan.  Aku meraih tangannya dan menariknya untuk sama-sama menyebrang. Aku tinggalkan SMASHBLAST yang melongo karena sikapku itu. Sementara itu kamera infotainment merekam semua live drama yang pasti akan tayang dalam waktu sejam dua jam kemudian.

Aku naiki angkot yang sedang ngetem tanpa penumpang seorang pun.

“Pak! Aku carter Pa! Pergi sekarang!” pintaku. Angkot pun melaju sampai kerumahku. Selama itu kami tak sedikit pun bicara. Diza masih memendam amarah dan aku masih merasa bingung dan bersalah.

Untuk pertama kalinya Diza bertemu dengan semua anggota SMASH, dan untuk pertama kalinya juga teman-temanku yang belum pernah melihat wajahnya memiliki kesempatan melihat wajah yang sangat Indonesia ini. Wajah yang ternyata bukan hanya mengalihkan duniaku tapi juga pemikiranku.

“Morgan… Rafael…. Angga…. Rizki… Ilham… Reza..”ucap Diza sambil menunjuk teman-temanku sambil mengucapkan nama mereka satu persatu.  Aku tak sangka dia mengucapkan itu.

Diza, manisku yang aneh… Aku pikir dia masih marah, tetapi ternyata dia cepat sekali berubah.

“Rangga, Diki,” kataku sambil menunjuk  wajah Rangga dan Diki. “Ilham sama Reza kebalik,” jelasku. Sambil tertawa.

“Ada apa nih?” Tanya Rafael.

“Ada masalah bro!” ujarku dengan wajah riang. Ya, riang dan ringan. Aku tidak tahu kenapa perasaanku ringan sekali. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Hanya itu yang aku rasakan.

“Ada apa emang?” tanya Rafael sekali lagi. Aku lihat jam tangan.

“Nyalain aja TV!” suruhku sambil berlalu mengajak Diza ke kamarku.

Walaupun tidak melihatnya, aku yakin acara-acara infotainment memberitakanku detail sampai dibumbui agar terasa lebih gurih. Dan aku yakin sekarang jaringan internet sedang sibuk dengan berita tentang diriku lagi. Besok tabloid-tabloid akan menampang wajahku  dan Diza yang entah mereka dapatkan dari mana. Siapa Diza pun akan mereka selidiki sampai hal-hal terkecilnya. Begitulah cara media bekerja, dan aku hanya bisa menerimanya.

Aku memain-mainkan gitarku. Diza memain-mainkan tuts piano. Hanya bunyi itu yang ada, kami belum memulai bercakap-cakap lagi.

“Diz…” Panggilku.

“Hemh?” balasnya tanpa melihat wajahku.

“Kita putus yu!” ajakku. Diza tersenyum lalu mengangguk-anggukan kepalanya tanpa beban.     “Aku pikir kamu bakalan ngomong ‘emang kita jadian?’” kataku. Diza tersenyum lalu membalikan badannya  ke arahku.

“Alasannya?” tanya Diza.

“Karena aku nggak bisa jaga kamu, bahkan tadi aja nggak ada yang bisa aku lakuin,” jelasku.

“Bukan! Alasan kenapa kamu mikir kalau aku bakal ngomong ‘emang kita jadian’” ungkap Diza.

“Eh… sugan teh… boro udah serius,” jawabku. “Karena kita nggak pernah ngomong kita jadian,”

“Kalau selama ini aku harus ketemu sama kamu di atas jam sepuluh malam padahal aku udah ngantuk dan ingin tidur. Kalau selama ini harus tahan kamu dikerubunin orang dan melihat lagi kamu sebagai anggota SMASH, kalau selama ini aku minjemin buku ke kamu dan diskusi tentang masa depan negara ini, kamu pikir itu apa?” tanyanya. Aku mengangguk-angguk tanpa menjawab karena sudah sangat paham maksudnya.

“Sekarang aku ingin jawaban jujur kenapa kamu bisa suka aku tapi menolak buat suka SMASH?” tanyaku serius. Diza terkekeh mendengar pertanyaanku. Diam mengatupkan mulutnya dan kemudian berusaha untuk menjelaskan. Aku menanti-nanti dengan penasaran kata-kata yang akan dikeluarkannya.

“Karena…….” dia mulai bicara tapi langsung diam lagi.

“Ayo dong! Kenapa? Kamu bikin aku kaligata!”

“Karena……. SMASH tak bisa cukup berkonstribusi buat negara ini, karena SMASH gagal mengedukasi penggemarnya, Karena SMASH belum menemukan jati diri bangsanya,” jawab Diza sambil tersenyum dikulum.

Mendengar itu sebenarnya sangat pahit, tapi aku harus berusaha tersenyum dan menerima kritikan dari orang terdekatku yang satu ini, Diza, manisku.

“Itu majas Eufemisme, ya?” tanyaku. “maksudmu kami ini memberikan pengaruh buruk untuk anak-anak Indonesia,” lanjutku memberanikan diri merangkai kalimat yang menyakitkan diriku sendiri.

“Tidak juga,kalau kamu berpikiran begitu, maka semua band di Indonesia hampir sama buatku,” kilah Diza. “Aku hanya berpikir kalian punya potensi besar untuk merubah watak orang Indonesia. Setidaknya kudengar kebiasaan baca kamu itu mulai menulari fans kamu, itu baik. Mungkin sekarang banyak SMASHBLAST yang tahu kota-kota mana saja yang dilewati jalan Deandels itu. Kamu pikir selama ini aku—secara tidak langsung— menyuruh kamu untuk baca kenapa?” jelas Diza sambil senyam-senyum manis. Aku pun jadi tergoda untuk tersenyum padanya dan pada rencananya selama ini.

“Lalu untuk apa aku mengajakmu naik TMB dan memperlihatkan kelakuan anak SMP — dan semua lapisan masyarakat—yang masih seperti manusia prasejarah tidak tahu beradaban tong sampah?” lanjutnya yang menggelitik tidak saja hanya otakku, tapi juga nuraniku.

“Parah! Jadi selama ini kamu menunggangiku untuk kepentingan pribadi kamu?” tanyaku sambil tertawa. “Kamu tak ada bedanya dengan para politikus!”

“Tapi aku nggak kayak politikus busuk, kan?”

“Ah… jadi lebar udah ngajakin kamu putus!” sesalku sambil tersenyum. Diza hanya mengangguk sambil tersenyum menaikan alisnya tinggi-tinggi seolah berkata: salah siapa?

“Tapi sayangnya kita tetep harus putus. Dengan sangat menyesal aku tidak bisa menarik kata-kataku,” jelasku. Diza mengangguk-angguk mengerti dan menyetujui.

“Kita rayain yu!” ajaknya. “Ayo! Untuk pertama kalinya aku akan makan bareng dengan anggota…. SMASH!” kata Diza sambil mempermainkan caranya mengucapkan kata SMASH.

Diza, di antara perempuan-perempuan yang pernah jadi pacarku dialah yang paling aneh. Dan yang membuatku ikut-ikutan aneh. Hanya dia yang tersenyum bahkan merayakan hari putus. Bahkan hanya dia yang berhasil membuatku berpikir kalau putus hal yang sangat biasa dalam hidup. Aku benar-benar tidak merasakan pikiran yang berat dengan keputusan ini. Entah mengapa tapi aku yakin ada sesuatu yang membahagiakan nantinya.

Tuts-tuts piano menghasilkan harmonisasi yang indah dan mengesankan saat jari-jemari Diza menari di atasnya. Harmonisasi riang seperti kita sedang berlari-lari dikebun yang hijau di minggu pagi sebelum jam dua belas siang.

“Ini, soundtrack putus kita!” tandasnya sambil memamerkan senyum petugas SPBU-nya.

“Kamu bukan petugas SPBU sembarangan kan?” tanyaku curiga. “Kenapa kamu bisa main piano sebagus itu?”

Diza hanya tersenyum dan kembali memainkan piano dengan sangat baik sebelum dia mengungkapkan rahasia lainnya yang tak aku tahu.

“SPBU itu punya ayahku,” jawabnya sambil tetap memainkan pianonya sampai bunyi tuts terakhir. “emang kamu nggak pernah ngeh ya kenapa petugas SPBU lainnya suka menundukan kepala mereka terlebih dahulu kalau ngeliat aku,” lanjutnya.

“Ah… tambah nyesel aku putus sama kamu,”

“Hehehe… udah ah! Ayo kita pesen tumpeng!”

Ya, hari itu kita numpeng untuk merayakan putusnya aku dengan Diza. Jika banyak artis selama ini selalu berujar mereka putus dengan baik-baik, lebih dari itu aku dan Diza putus diiringi senyuman. Anggota SMASH yang lain tidak mengerti mengapa kita bersikap aneh, tapi begitulah adanya.

***

                Esok harinya aku lihat tabloid ramai oleh pemberitaanku dengan judul yang menggelitik. Kisah Asmara Bisma SMASH dan Diza Bikin Macet Jalan Raya. Semua anggota SMASH terbahak-bahak bahkan sampai tersedak saat membaca headline tabloid. Bahkan Diza pun mengirim SMS padaku. Aku suka Headline tabloid hari ini^^Like this!

                Beberapa hari setelah hari itu aku diminta manajemen untuk melakukan konfrensi pers.  Aku pun menyetujuinya. Diza? Seperti biasa tidak peduli apapun tentang SMASH. Menuju ke tempat konfrensi pers, aku ditemani si Ogan dengan mobilku. Sekarang aku tidak memaksa dia untuk mengisi bensin di SPBU tertentu.  Aku malah asik membuka-buka buku dari Diza yang akhirnya dia berikan padaku. Ada satu buku yang belum sempat aku buka selembar pun. Buku dari penulis Sapardi Djoko Damono. Kumpulan puisi-puisi yang tidak terlalu aku mengerti kata-katanya. Diksi, itulah istilahnya kata Diza dulu. Lembar demi lembar aku baca dengan cepat, tapi kutemukan satu puisi yang Diza tandai dan tandatangani. Dia tulis di lembar kertas itu : Untuk Bisma Karisma merangkap Bisma SMASH. Aku tertegun membaca kalimat itu. Untuk pertama kalinya Diza menganggap Bisma Karisma dan Bisma SMASH adalah orang yang sama. Jantungku berdebar-debar tanpa alasan. Aku seperti harus bersiap-siap membaca puisi itu. Aku baca puisi itu dengan khidmat seperti sedang menyenandungkan hymne saat upacara. Aku merasakan kebahagian yang aneh! Sangat aneh! Bahagia yang meluap sampai seolah tak tertampung lagi oleh hatiku. Aku menutup buku itu sambil tersenyum.

“Nggak baca SMS, nggak baca buku, kamu nyengar-nyengir mulu!” ujar Morgan.

“Lu nggak akan ngerti Bro!” jawabku singkat.

Berjuta pasang mata dan sorot kamera telah menantiku di sebuah ruangan hotel. Aku jadi teringat Diza yang menganggap hal-hal seperti ini tidak penting. Sekarang aku pun merasa begitu. ‘apa-apaan sih yang gini aja diurusin?’ itu gumamku dalam hati. Namun, sebagai orang yang terikat manajemen, aku tahu perintah mereka menjadi kewajiban.

“Selamat pagi semuanya!” sapaku dengan senyuman yang sangat tulus. Semua orang menjawab sapaku. “ Pertama-tama saya harus dan wajib mengucapkan maaf pada pengguna jalan saat kejadian yang memacetkan itu terjadi. Semoga tidak ada mahasiswa dan murid sekolah yang kesiangan atau karyawan perusaahaan yang dimarahi atasannya karena ulah saya. Saya mohon maaf sebesar-besarnya,

“Sebenarnya saya benar-benar tidak tahu untuk apa saya di sini? Apa yang harus saya jelaskan? Dan untuk apa saya jelaskan? Karena dijelaskan pun tidak akan membuat para koruptor tersentuh dan mau mengembalikan uangnya pada negara, yang maksdudnya, tak satu patah kata pun yang saya ucapkan nantinya penting untuk negara ini, jadi saya hanya akan menjawab apa yang teman-teman ingin tahu saja,” jelasku panjang lebar.

Mendengar itu langsung saja para pewarta mengajukan pertanyaannya. Dan seperti yang telah bisa semua orang duga adalah mengenai hubunganku dengan Diza.

“Diza itu dulu saya kenal sebagai pegawai SPBU,”

“Kalian pacaran?” tanya wartawan infotainment A.

“Ya, beberapa hari sebelum kami memutuskan untuk numpeng merayakan putusnya kami”

“Numpeng?” semuanya mengulang dengan nada heran.

“Ya, saya juga tidak tahu, dia bilang ingin tumpengan sebagai perayaan putus,”

“Diza itu orang yang gimana sih?”

“Licik!” tegasku. Semuanya riuh. “dia orang yang memanfaatkan saya untuk mencapai tujuannya. Dia membuat saya rajin membaca buku agar, fans saya mengikuti kebiasaan saya ini. Dia membuat saya harus melihat kenyataan bahwa penggemar saya masih suka buang sampah sembarangan. Dari sini dia ingin membuat saya berfikir bagaimana menyelesaikan masalah ini, ya begitula Diza. Tolong simpulkan sendiri!”

“Bagaimana perasaan kamu ke Diza? Masih sayang?”

“Emh… perasaanku saya ke Diza, mungkin sama seperti perasaan Diza ke saya,”

“Perasaan yang gimana?”

Aku diam sesaat. Aku ambil buku yang sengaja aku bawa ke konfrensi pers itu. Orang-orang seregap menatap diriku.

“Perlu kalian tahu, kalau Diza adalah orang tidak suka SMASH. Bahkan harus berkali-kali saya mengingatkan nama personil anggota SMASH. Dan dia selalu memisahkan antara Bisma Karisma dan Bisma SMASH. Tapi pagi ini saya menemukan satu-satunya moment saat dia menganggap Bisma Karisma dan Bisma SMASH adalah orang yang sama.

“Diz… aku yakin kamu nggak akan nonton acara ini, jadi aku mau bacain puisi yang kamu kasih buat aku,” ungkapku pada Diza melalui kamera.

“Mungkin puisi ini sangat terkenal  dikalangan sastrawan, karya Sapardi Djoko Damono, tapi saya baru tau puisi ini…

Untuk Bisma Karisma merangkap Bisma SMASH

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..

 

Sama seperti puisi ini, saya pun berharap pada SMASHBLAST untuk menyukai kami dengan sederhana. Mungkin ada beberapa SMASHBLAST yang dulu di ada TKP waktu kejadian itu terjadi, dan ingat kata-kata Diza saat sedang marah. Dia bilang: Bekuin aja Kak Bisma supaya kalian bisa miliki. Saya baru sadar bahwa kata-kata itu seperti mengatakan saat kalian menyukai saya dengan cara berlebihan, itu membuat saya malah seperti benda yang membeku dan tidak bisa bebas menyukai seseorang dengan bebas. Saya bahagia menjadi keduanya, Menjadi Bisma Karisma dan Bisma SMASH, tapi saya akan lebih bahagia jika Bisma ini bisa memberikan arti yang pada negara ini, bukan hanya bisa membuat para SMASHBLAST berteriak-teriak memanggil nama saya tanpa putus-putus.”

***

Setelah pernyataan itu, halaman-halaman internet penuh dengan komentar-komentar yang menyatakan mereka akan berusaha memahami kondisiku dan akan rajin membaca. Beberapa ada yang menyatakan rasa menyesal karena putusnya aku dengan Diza. Komentar itu kebanyakan dari anak SD,SMP, dan SMA. Kalau mahasiswa mereka lebih melontarkan rasa salut pada Diza.

***

Saat SMASH rehat beberapa saat dari manggung ke sana – sini, aku putuskan untuk membuat karya yang tidak ada hubungannya dengan musik. Aku membuat iklan layanan masyarakat untuk meningkatkan budaya baca. Konsep iklan itu aku buat sendiri dengan penuh pemikiran agar terlihat tidak norak. Tidak ada yang menobatkan kami jadi duta baca, tapi dengan iklan yang hampir 90% menggunakan biaya pribadi ini, kami entah kapan menjadi duta baca bagi anak-anak Indonesia. Ya, menjadi duta baca seperti apa yang diinginkan Diza. Karya ini aku persembahkan untuk Indonesia semoga bisa memberika konstribusi yang baik dalam ke-jarang-an aku memikirkan negara ini.

Dalam beberapa wawancara di radio aku jadi selalu tidak lupa untuk memberikan pesan pada anak-anak di Indonesia untuk membaca buku.

“Ya, Kak Bisma apa pesannya untuk anak-anak Indonesia?” tanya pembawa acara radio saat kita akan menyelesaikan wawancara.

“Satu minggu membaca satu buku!” ucapku

***

Setelah hampir dua bulan tidak bersua dengan Diza, akhirnya aku bertemu dengannya lagi di suatu sore yang merayu. Dia tak kehilangan senyum petugas SPBU-nya. Senyuman yang sangat aku rindukan. Kami bertemu di SPBU depan jalan raya setelah dia selesai bertugas. Setelah lama kami tidak bersua dia tidak menanyakan kabar atau kesehatanku, tapi…

“Buku apa yang sedang kamu baca?”

“Selimut Debu!” jawabku.

“Ah… buku itu aku belum baca,”

“Ah akhirnya ada juga buku yang belum kamu baca!” seruku girang.

“Bagaimana kabarnya Kak Bisma?” tanyanya menyindirku.

“Jauh lebih baik!”

“Kapan iklan tentang buang sampah pada tempatnya?”

“Ya nanti lah! Ide itu nggak gampang datang. Tapi iklan membaca itu bagus kan?”

Diza mengangguk.

“Emang itu buatan kamu?”

“Kamu nggak percaya. Aku kan anak DKV!” Seruku.

“Oh ya! Aku baru tahu,”

Kami terdiam sambil memainkan kaki kami tak tahu apa yang harus kami bicarakan lagi.

“Kak Bisma!” sapa seorang anak SMP.

“Hai!” jawabku sambil tersenyum.

“Boleh minta tanda tangannya nggak?”

Aku pun langsung menandatangani buku pelajaran matematikanya.

“Nama kamu siapa?”

“Yuli!”

Aku pun menuliskan kalimat: untuk Yuli! Rajin belajar! Jangan lupa, Satu Minggu Satu Buku!

“Makasih Kak!

“Iya! Rajin baca ya! Jangan lupa satu minggu satu buku!” teriaku saat anak itu berlalu

“Iya Kak! Dah Kak Diza!” pamitya. Aku dan Diza langung terpukau.

“Iya… hati-hati ya. Rajin belajar ya!” jawab Diza. “jangan sering bolos kayak Kak Bisma!” bisik Diza menggodaku.

“Ssst! Ah! Jangan memberikan pengaruh buruk ke anak-anak!” seruku. Kami pun terdiam lagi.

“Jadi ini bagian dari jalan Deandels itu ya… Jika baca sejarahnya…aku jadi merasa bersalah dulu sering kebut-kebutan di jalan ini!” ucapku membuka lagi pembicaraan.

“Pendahulu-pendahulu kita bahkan tidak merasakan usahanya sendiri, dan kita hanya bisa merusaknya,” timpal Diza.

“Kapan-kapan napak tilas yuk! Dari Anyer ke Panarukan!” ungkapku.

“Wah… akhir-akhir ini kamu punya segudang ide ya!”

Aku hanya tersenyum. Dan kami terdiam lagi.

“Kalau kita kembali bercerita tentang membangun negara… apa itu artinya seperti … jadian lagi?” tanyaku pada Diza dengan wajah penuh tanya dan harap, tapi Diza hanya tersenyum.

“Hai Bis!” sapa seorang anak kuliahan yang tak kukenal sambil berlalu. Aku sangat kaget karena ada anak mahasiswa mau menyapaku.

“Hey!” jawabku.

Diza menatap mahasiswa yang berlalu itu sebelum akhirnya memandangiku dengan senyuman.

“Kalau aku lihat perubahan sekarang ini…. aku bisa pertimbangkan,” jawabnya. “Tapi, aku tetep nggak akan suka SMASH!” tegasnya.

Rasanya seperti bunga-bunga yang bermekaran di musim semi di negara orang, tapi karena ini di Indonesia. Pemandangan langit  Jingga nan tenang ditemani kendaraan – kendaraan yang cerewet menjelang magrib pun indah-indah saja jadinya.

***

1-2 Juni 2011

Cerita ini hanya fiktif belaka. Kenyataannya saya tidak kenal Bisma itu orang seperti apa… Mohon Maaf kalau Bisma yang asli tidak berkenan dengan cerita ini hehe.. Peace yo!

Kalau ingin copy-paste cerita ini, tolong dicantumkan sumbernya…untuk menghargai hak intelektual ^^